Wednesday, August 22, 2012

Kawasan Asia Timur Memanas

AppId is over the quota
AFP PHOTO / JUNG YEON-JE Polisi menjaga ketat Kedutaan Besar Jepang di Seoul, Korea Selatan, Rabu (15/8/2012), saat ratusan demonstran, termasuk para mantan jugun ianfu, menggelar aksi protes mingguan, yang bertepatan dengan peringatan 67 tahun menyerahnya Jepang dalam Perang Dunia II.

TOKYO, KOMPAS.com - Suasana di kawasan Asia Timur memanas pada momen peringatan 67 tahun menyerahnya Jepang dalam Perang Dunia II, Rabu (15/8/2012). Ekspresi negatif terhadap Jepang dilontarkan pemerintah serta rakyat China dan Korea Selatan. Pihak Jepang pun tak tinggal diam.

Polisi Jepang menyatakan telah menangkap lima aktivis China yang nekat mendarat di salah satu pulau di kepulauan yang disengketakan kedua negara, Rabu. Sebanyak 14 aktivis China berlayar dari Hongkong ke gugus kepulauan di Laut China Timur, yang disebut Kepulauan Diaoyu oleh China atau Senkaku menurut Jepang tersebut.

”Kami ingin dunia tahu bahwa kepulauan ini sudah sejak lama menjadi wilayah China, dan sebagai warga China, kami bebas pergi memancing atau berwisata ke sana,” tutur juru bicara para aktivis itu, David Ko.

Lima di antara para pemrotes itu kemudian nekat berenang dan mendarat di salah satu pulau. Begitu mendarat, mereka langsung ditahan polisi dengan tuduhan melanggar hukum imigrasi Jepang

Dalam kesempatan lain, para aktivis Korea Selatan (Korsel) berenang secara estafet ke gugus Kepulauan Dokdo yang disengketakan dengan Jepang. Mereka tiba di pulau itu, Rabu, untuk menegaskan klaim bahwa kepulauan, yang oleh Jepang disebut Takeshima, itu adalah wilayah Korsel.

Demonstrasi anti-Jepang juga pecah di Seoul dan Taipei, Taiwan. Di Jepang, sebuah stasiun televisi membatalkan penayangan film Korsel yang dibintangi aktor yang ikut dalam renang estafet tersebut.

Ganjalan sejarah

Ketegangan antarnegara kekuatan ekonomi utama Asia ini makin memuncak setelah Presiden Korsel Lee Myung-bak berpidato soal ”ganjalan sejarah” yang menghalangi Korsel dan Jepang berjalan bersama mewujudkan masa depan yang lebih baik di Asia Timur Laut.

Lee juga kembali menuntut Jepang bertanggung jawab atas ribuan perempuan Korsel yang dijadikan ”budak seks” tentara Jepang di masa perang.

Sehari sebelumnya, dalam pertemuan dengan para guru di Korsel, Lee juga menuntut Kaisar Jepang Akihito meminta maaf sebelum berkunjung ke Korsel.

Menteri Luar Negeri Jepang Koichiro Gemba mengaku ”tak bisa memahami” dan ”amat menyesalkan” pernyataan Lee yang dianggap menghina Kaisar Jepang itu. Menurut Gemba, belum ada rencana kunjungan Kaisar Akihito ke Korsel.

”Saat kita sedang menghadapi masalah-masalah sulit yang perlu ditangani secara tenang, pernyataan atau tindakan apa pun yang bermaksud mengobarkan nasionalisme tak akan menguntungkan Korsel,” kata Gemba, yang sudah melayangkan protes resmi melalui jalur diplomatik.

Jepang pekan lalu menarik duta besarnya dari Seoul setelah Lee mengunjungi Kepulauan Dokdo/Takeshima yang disengketakan.

Di Jepang, dua menteri di kabinet Perdana Menteri Yoshihiko Noda mengunjungi Kuil Yasukuni, yang menjadi tempat penghormatan bagi para prajurit Jepang yang tewas pada Perang Dunia II. Kunjungan itu memicu kemarahan China dan Korsel, yang menganggap Yasukuni sebagai simbol militerisme dan kekejaman Jepang di masa lalu.

”Esensi masalah Kuil Yasukuni adalah apakah Jepang bisa menyadari dan menguraikan sejarah militerisme dan invasinya di masa lalu, dan apakah Jepang bisa menghormati perasaan para korbannya di Asia, termasuk China,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Qin Gang.

Para pengamat berpendapat, meningkatnya retorika terkait trauma sejarah dan sengketa teritorial ini terkait situasi politik dalam negeri di China, Korsel, dan Jepang. China dan Korsel bersiap memilih pemimpin baru tahun ini. Sementara pemerintahan Noda di Jepang makin kehilangan dukungan.

”Pada periode ini, semua politisi harus bersikap keras, mereka harus menunjukkan kepada para pendukung di dalam negeri bahwa mereka tak akan berkompromi terhadap kekuatan asing,” papar Wang Yu, asisten profesor hubungan internasional di Universitas China di Hongkong.

(AFP/Reuters/AP/DHF)

No comments:

Post a Comment