Thursday, August 30, 2012

Pemberontak Suriah Dipasok Banyak Senjata Barat

IP is over the quota
AFP PHOTO/DJILALI BELAID Para anggota Tentara Pembebasan Suriah mengendarai motor di pinggiran kota Homs pada 28 Juni 2012. Puluhan tentara aktif, termasuk seorang jenderal dan sejumlah perwira senior, dilaporkan menyeberang ke Turki untuk bergabung dengan pasukan oposisi.

MOSKWA, KOMPAS.com - Rusia menyatakan terdapat banyak bukti bahwa pemberontak Suriah memperoleh banyak senjata buatan Barat, menunjukkan Amerika Serikat dan negara Eropa berperan mengobarkan kekerasan yang terus berlanjut di negara terbelah itu.

Tanggapan Wakil Menteri Luar Negeri Gennady Gatilov itu menggemakan suara yang menyatakan negara Barat dan Arab gagal mengakhiri kemelut melalui diplomasi, seperti rencana perdamaian mantan penengah Kofi Annan.

Barat menuduh Moskwa memungkinkan Presiden Suriah Bashar Assad bertindak dengan berulang kali memveto resolusi PBB untuk menekan pemerintah Suriah, yang membeli senjata dari Rusia dengan nilai hampir satu miliar dollar tahun lalu.

"Semakin banyak bukti, termasuk di media, bahwa oposisi Suriah mendapat pasokan senjata buatan Barat secara besar-besaran melalui negara ketiga," kata Gatilov di Twitter-nya, Senin (20/8/2012). Ia tidak merinci pernyataannya.

Amerika Serikat dan Inggris menyatakan memberi bantuan nonsenjata kepada pemberontak, seperti, sarana perhubungan. Arab Saudi dan Qatar, dua lawan kuat Arab terhadap Assad, diyakini mendanai aliran senjata untuk pemberontak.

Dalam mengumumkan pengunduran dirinya sebagai utusan perdamaian pada akhir bulan lalu, Annan menyatakan sikap saling tuduh menyebabkan kebuntuan atas kemelut yang telah berlangsung selama lebih dari 17 bulan itu.

Rusia sangat menentang campur tangan asing di Suriah dan terus mendukung rencana perdamaian enam pasal usul Annan. Moskwa berulangkali minta Barat dan Arab menekan pemberontak untuk menghentikan pertempuran.

Tanggapan Gatilov itu muncul beberapa hari setelah laporan PBB, yang menilai bahwa pasukan Assad dan pemberontak, yang secara luas mendapat dukungan Barat dan sebagian besar negara teluk Arab, melakukan kejahatan perang.

Pada pekan lalu, Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov menuduh Barat mengingkari kesepakatan dengan membantu membuat pemerintah peralihan di Suriah dan memperpanjang pertumpahan darah dengan mendorong pemberontak terus melawan.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton pada awal bulan ini menyatakan Amerika Serikat dan Turki mengkaji semua langkah untuk membantu pemberontak Suriah, termasuk daerah larangan terbang di sana saat kemelut mendalam.

Lavrov dalam wawancara dengan Sky News Arabia, Sabtu (18/8/2012), menyatakan setiap upaya untuk menggunakan pertimbangan kemanusiaan sebagai dalih membangun daerah larangan terbang atau wilayah keamanan di tanah di Suriah "untuk tujuan militer" tidak dapat diterima.

Beberapa hari setelah Hillary berbicara, Menteri Pertahanan Amerika Serikat Leon Panetta menyatakan daerah larangan terbang bukan isu utama dan koran Turki mengutip Duta Besar AS di Ankara mengatakan ada hambatan hukum dan praktis terkait zona larangan terbang.

No comments:

Post a Comment